Kata Siri’, dalam bahasa Makassar atau Bugis, bermakna malu. Sebuah inspirasi dari setiap gerak langkah orang-orang Bugis-Makassar
kapan dan di manapun dia berada. Sebagai inti kebudayaan Siri’ jelas
tampak dalam karakter dan kepribadian orang-orang Bugis-Makassar.
Meski
begitu, ada kecenderungan Siri’ mengalami penyempitan makna dan makin
kabur aplikasinya di tengah masyarakat sendiri. Akibatnya, Siri’ kadang
terlupakan dan dikesampingkan dalam soal-soal pelayanan publik. Kondisi
ini menimbulkan bertambahnya pelaku kejahatan korupsi, misalnya.
Mengapa? Karena Siri’ hanya diidentikkan dengan pertumpahan darah. Siri’
dalam konteks ini tampaknya baru berlaku ketika seseorang sudah
menganggap dirinya dipermalukan. Padahal sesungguhnya, dengan berlaku
baik paling tidak bisa menghindari kelakuan yang oleh masyarakat
dipandang buruk, atau bertentangan dengan hukum yang berlaku, juga
merupakan implementasi Siri’ sebagai perlambang tegaknya sebuah harga
diri. Harga diri sebagai orang-orang Sulawesi Selatan. Sebab, hanya
disebut manusia jika seseorang memiliki Siri’
Kalau kita mengembangkan budaya Siri' dalam pelayanan publik, maka tiap-tiap pelayanan tidak akan terjadi pungutan liat (pungli) disamping itu juga InsyaAllah tidak akan terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dikarenakan budaya malu / siri' yang kita junjung tinggi. Sebagai warga kota Makassar dengan suku bugis dan makassar, mari kita junjung tinggi budaya siri' dalam segala aspek pelayanan publik sehingga makassar bisa menjadi kota dunia yang berlandaskan kearifan lokal.